Kamis, 30 November 2017

ABAI Part 2

ABAI Part 2
Julia Rosmaya

"Sayang, ini ada sate kambing. Ayo makan dulu..."

Sering suami pulang membawa makanan enak dan mengajak saya makan. Saya sering mengabaikan fakta bahwa dia punya riwayat hipertensi dan keluarga besarnya banyak yang meninggal karena stroke, termasuk kedua mertua saya.

Makanan sehari-hari yang saya masak untuk bekal kedua anak dan suami juga jarang mengandung sayur. Saya sering gondok saat sore membuka tempat bekal mereka dan menemukan sayur masih utuh. Sia-sia rasanya memasak sayur. Akhirnya jarang saya membawakan menu sayur dalam bekal mereka. Belum lagi dengan alasan kepraktisan, segala rupa processed food sering saya hidangkan. Abai terhadap faktor kesehatan hanya kenyamanan lidah saja.

Sabtu Minggu pun jarang kami habiskan untuk olahraga ringan. Sebagian besar kami habiskan di kamar, main game atau nonton film bareng. Dengan cemilan tentu saja. Pop corn asin, aneka kripik, minuman kemasan dilahap begitu saja dan sekali lagi mengabaikan kesehatan, hanya kenikmatan.

Tetiba suami pulang dan mengeluh bahwa badan lemas dan kliyengan. Saya abai. Saya bilang, kecapekan itu gegara macet di jalan. Esok harinya saya masih tega melepas dia ke kantor walau agak curiga saat mendengar suaranya agak cadel saat bicara.

Siangnya mendapat kabar bahwa dia pulang cepat dan sudah di rumah. Membuat saya tak tenang. Urusan penelitian saya tangguhkan dan saya segera pulang.

Omongannya makin cadel dan tak jelas maksudnya. Saya semakin curiga. Segera saya bawa ke dokter dekat rumah. Dokter hanya memberi obat hipertensi walau tekanan darah tinggi 180/110 dan berbicara cadel. Hari itu hari Kamis.

Jumat dan Sabtu, suami mengeluh bahwa tangan kiri kesemutan dan baal. Saya semakin curiga dan sekali lagi membawa ke  dokter. Tekanan darah masih tinggi 180/110, dokter hanya mengganti obat. Dari Amlodipine menjadi Captopril.

Saya tidak tenang dan segera menghubungi teman yang dokter di hari Minggu. Dia kaget karena dokter saya hanya memberi obat tanpa tindakan lanjutan.

"Itu tanda stroke ringan! Langsung bawa RS. Biar segera ditangani. Cadel, kesemutan, baal, lemas mendadak, tekanan darah setinggi itu... Itu tanda stroke!"

Tanpa babibu dia menceramahi saya panjang lebar. Menyarankan saya langsung ke RS Pusat Otak Nasional (PON) di Cawang, bukannya RS dekat rumah..

Senin pagi saya ke RS PON dan iya... Suami terkena stroke dan harus dirawat. Karena masih dalam masa kritis.

Dokter di dekat rumah abai akan tanda-tanda stroke, saya abai karena tidak segera menghubungi teman saya itu.

Teman saya bercerita lagi. Saat ini dokter yang update bila menemukan tanda seperti yang dialami suami harus langsung merujuk ke RS. Tidak menunggu tanda lanjutan... Menunggu serangan stroke berikutnya yang lebih parah. Stroke ringan wajib ditangani karena tingkat kesembuhan yang lebih tinggi.

Apa tanda stroke? Seperti yang saya baca di sebuah brosur RS PON.

FAST
Face... Bila ada perubahan di raut wajah. Saat tersenyum raut muka tidak simetris.
Arms... Tangan mendadak lemas, kesemutan dan baal di jari tangan
Speech... Perubahan nada bicara, cadel atau bicara tidak jelas.
Time... Segera bawa ke RS terdekat bila menemukan tanda di atas.

Stroke suami akibat hipertensi yang diabaikan serta menyebabkan sumbatan di batang otak kanan. Sehingga yang terkena dampak adalah bagian tubuh sebelah kiri.

Panik? Pasti... Tapi juga lega karena RS PON melakukan penanganan dengan baik. Suami langsung di CT Scan dan X Ray serta diambil darahnya untuk mengerti sebab strokenya. Semua itu dilakukan saat saya belum bisa menunjukkan kartu BPJS suami (baca ABAI PART 1). Petugas RS begitu percaya bahwa saya PNS golongan IV dan membantu mencarikan nomor BPJS suami hanya berdasarkan NIK dan KK. KK pun hanya berupa scan di email. Kebetulan saya pernah mengirim scan KK via email.

Terima kasih RS PON untuk pelayanannya. Terutama petugas pendaftaran IGD yang menerapkan 3S... Senyum Sapa Salam... Beribu kebaikan semoga selalu dilimpahkan untuk kalian.

BERSAMBUNG...

Terima kasih untuk dr. Toni Hermawan yang sungguh membantu dan memberi pencerahan dan sedikit memaksa saya untuk langsung ke RS PON. You're a truly friend...

ABAI Part 1

ABAI... Part 1
Julia Rosmaya

Beberapa hari ini mendapat pelajaran tentang pengabaian terhadap sesuatu.

Selasa pagi duduk manis menikmati lontong sayur dekat kantor BPJS Rawamangun. Tetiba melihat seorang Bapak berlari ke arah mobilnya yang sedang diderek petugas. Mobil diderek saat dia parkir sejenak menikmati lontong sayur di pinggir jalan.

Ada tukang parkir yang cuek saja menikmati lontong sayur yang sama disitu. Si ibu penjual lontong menegur si tukang parkir, kenapa tidak memberi tahu si Bapak soal larangan parkir.

Dengan cuek dia bilang, "Gue kan tukang parkir motor, bukan urusan gue mobil mau parkir disitu. Lagipula ada larangan parkir di sono noh...!" ujarnya abai.

Si Bapak mengabaikan tanda larangan parkir, si tukang parkir mengabaikan mobil Bapak yang di parkir. Akibatnya, mobil diderek.

Hmmm kenapa saya ke BPJS? Saya juga melakukan pengabaian.

Kartu Askes saya dan suami belum diganti dengan kartu BPJS yang baru. Bahkan kartu askes suami masih yang lama, yang panjang, bukan kartu kuning. Selama ini merasa tidak membutuhkan Askes, merasa sehat saja. Makanya abai dengan kartu Askes yang wajib diganti dengan kartu BPJS.

Saat suami harus masuk RS dan membutuhkan kartu BPJS barulah sadar pentingnya kartu ini. Untunglah pihak RS sangat kooperatif, mereka sangat membantu proses pendaftaran, bahkan mencarikan nomor BPJS suami. Menunggu dengan sabar saya yang panik membongkar tas mencari kartu Askes. Hingga 3 kali bongkar, kartu tidak ketemu. Untunglah ada seorang Bapak yang menunjukkan kartu askes saya yang tergeletak di lantai. Di dekat tas!

Rumah sakit tidak abai, si Bapak yang menunjukkan kartu itu tidak abai. Mereka paham kepanikan saya.

Rumah Sakit Pusat Otak Nasional di Cawang sangatlah kooperatif. Tidak ada cerita pengabaian pasien BPJS disini. Suami langsung ditangani dengan baik, bahkan saat saya belum bisa menunjukkan kartu Askes.

Mereka memberi waktu 3x24 jam sejak suami dirawat untuk mengganti kartu Askes menjadi karyu BPJS.

Saat saya bercerita ke adik-adik soal kartu ini, semua kompak menyarankan untuk mencari calo agar saya punya banyak waktu mengurus suami dan bukannya menghabiskan waktu di kantor BPJS. Tapi saran itu saya abaikan. Saya yakin kantor BPJS tidak serumit itu.

Ternyata benar, petugas BPJS tidak mengabaikan saya. Bahkan saat saya tidak membawa SK terakhir untuk membuktikan bahwa saya sudah golongan 4. Dalam waktu kurang dari 10 menit, kartu BPJS baru sudah di tangan dan saya bisa lega menghabiskan lontong sayur di dekat kantor BPJS itu.

Bersambung....

Terima kasih untuk Indri Kusuma yang menerangkan soal penggantian kartu Askes, saat saya panik.

Serta para sahabat baik...

Pengikut