(TIDAK) MASUK KUPING KANAN, (APALAGI) KELUAR KUPING KIRI
Julia Rosmaya
“Perhatiin gak, kalau si Tita piket pasti deh jarang yang ngamuk-ngamuk. Pengguna jasanya kalem semua…” kata Maya sambil mengeluarkan ID card. Langkahnya bergegas menuju pintu masuk khusus pegawai di Bandara
“Iya, aku juga heran,” Arief berusaha menjajari langkah Maya, “jangan-jangan dia punya ilmu penakluk sukma..!”
“Idih, buruk sangka itu. Beneran aku penasaran cara dia menghadapi pengguna jasa. Kemarin tuh menjelang akhir piket, aku lelah hati melayani Bapak-Bapak yang ngamuk karena dagingnya kutahan. Perasaan semua ilmu pelayanan sudah kukerahkan, tapi si Bapak itu jangankan nurut apa kata aturan, mendengarkan penjelasanku saja tidak mau!” urai Tita sembari memasukkan tas yang dibawanya ke mesin X-Ray Bandara
“Terus akhirnya gimana dengan dagingnya?” kata Arief sambil mengulurkan kedua tangan untuk diperiksa petugas
“Dilempar ke kita… kebayang gak …daging sekilo dilempar ke muka aku … “ kata Maya sambil merengut
Arief tertawa melihat Maya yang merengut. Tawa kecut yang penuh pengertian. Bagaimana pun juga, diperlakukan kasar oleh pengguna jasa sering mereka alami. Keduanya bergegas menuju konter pelayanan Karantina. Saatnya piket bagi mereka berdua. Dalam dua puluh lima jam ke depan, inilah kantor mereka. Konter pelayanan Terminal Kedatangan Bandara.
“Rief, lihat … si Tita sedang bicara sama ibu-ibu di dalam kantor. Yuk kita ngintip dia pakai ilmu apa buat menaklukkan si ibu. Kayaknya dia bawa buah sekardus tuh… “ colek Maya sambil bergegas ke ruang pelayanan.
“Mbaknya ya gak bisa kayak gitu. Ini buah, saya yang beli sendiri di Singapur. Asli impor dari Amerika dan China. Kalau mbaknya pengen, ya tinggal bilang. Nanti saya kasih deh box yang kecil. Ya saya maklum mbak, kalau petugas kayak mbak kan gajinya kecil. Pasti gak mampu beli buah mahal kayak gini. Belum pernah kan makan buah ini. Eh tahu gak mbak, di supermarket Jakarta, buah yang ini harganya hampir 50 ribu satu… yang itu rada murahan, tapi ya tetap mahal sih … 30 ribu satunya …!” kata seorang ibu cantik berumur awal 40an. Jemarinya berjejer berlian mahal, mengenakan sepatu boot tinggi, tas yang dicangklong rasanya bukan kwalitas KW dan syal gaya di leher. Mulutnya yang bergincu merah dengan sapuan make up sempurna belum berhenti mengoceh. Ada kata tuduhan pungli disana.
Maya dan Arief heran melihat Tita. Tita tampak tersenyum sambil sesekali mengangguk ramah. Padahal nada suara tinggi ditambah kata-kata hinaan yang keluar dari mulut si ibu dijamin membuat kuping merah. Lima belas menit kemudian, si ibu akhirnya diam kehabisan kata. Tita masih tersenyum ramah. Hampir tak ada kata keluar dari mulutnya, hanya sesekali kata iya disertai senyum dan anggukan.
“Bu, silahkan duduk disini. Kami hanya ada air putih. Ibu mau minum dulu?” kata Tita ramah.
Mungkin karena lelah bicara terus, si Ibu duduk, “Pokoknya mbak…, mbak kalau mau duit saya ya bilang saja. Itu buah saya bawa buat oleh-oleh kok, bukan buat dijual…” omongan si ibu masih berlanjut tapi dengan nada yang lebih rendah. Tidak setinggi tadi.
“Begini bu, buah segar tidak boleh masuk ke Indonesia. Kemungkinan buah yang ibu bawa membawa bibit penyakit ada loh bu. Nanti gimana kalau bibit penyakitnya tersebar di tanaman lokal bu, kan kasihan petani kita. Udah susah payah nanam buah, eh karena bibit penyakit yang ibu bawa dari luar negeri, buah kita gagal panen…” urai Tita lembut.
“Loh mbak, ini buah impor loh … jangan salah. Buah impor kan lebih sehat dari buah lokal. Mana ada penyakitnya…” bantah si ibu
“Duh bu, kita gak tahu. Bibit penyakit itu kan gak keliatan. Bisa ada di permukaan kulit buah, bisa ada di daging buah, bahkan ada di dalam biji buah. Kita saja gak bisa memastikan buah yang ibu bawa aman atau tidak, kalau tidak menggunakan pemeriksaan laboratorium. Gak cuma negara kita loh bu, yang melarang buah bawaan penumpang masuk ke negaranya. Ibu pernah ke Australia? Itu biji salak bekas makan kalau ketahuan ada di tas kita, bisa kena denda loh …!” Urai Tita lagi.
“Oh … gitu ya mbak … terus gimana bagusnya buah yang saya bawa ini …?”
“Silahkan ibu masukkan buah tersebut ke Quarantine Bin disini bu. Jangan khawatir, kami tidak akan memakan buah ibu. Semua isi Quarantine Bin akan dimusnahkan. Ibu boleh lihat kalau mau. Tapi ya gak hari ini. Biasanya kami kumpulkan dulu, setelah agak banyak baru kami musnahkan …” ujar Tita sambil berjalan menuju Quarantine Bin.
“Semuanya mbak? Gak boleh satu saja buat saya makan?” kata si Ibu yang sudah melunak.
“Iya, semuanya bu. Kalau mau dimakan. Silahkan makan disini sebelum dimasukkan ke Quarantine Bin…”
Ibu itu pun akhirnya memakan 2 buah sebelum sisanya dimasukkan ke Quarantine Bin. Maya dan Arief langsung menyerbu Tita, segera setelah proses pamasukan ke Quarantine Bin selesai.
“Aku minta resep dong, cara menghadapi pengguna jasa …Lelah hati deh ngadepin model si Ibu tadi,” kata Maya.
Tita tersenyum, dikeluarkannya gawai dari kantung baju dan ditariknya seutas kabel dari balik hijab yang dikenakannya.
“Ini rahasianya …” kata Tita sambil menunjukkan ear phone.
“Hah … maksudmu… selama si ibu nyap nyap itu, kamu mendengarkan lagu via ear phone?” Arief bertanya dengan raut tak percaya.
“Iya … daripada sakit hati mendengarkan tuduhan atau kata-kata nyinyir. Aku mending dengar lagu atau lawakan via ear phone,” Tita mencabut ear phone dari gawai dan terdengar lawakan grup Prambors DKI. Group pelawak tenar jaman dulu, “mereka itu, para pengguna jasa yang nyinyir itu, kadang hanya ingin didengar.Ya sudah … dengarkan saja “
“Lah tapi, kamu kan sebenarnya gak dengar mereka ngomong apa …” tukas Maya cepat.
“Iya hahaha … mereka ngomong apa pun kalau aturannya harus ditahan ya tetap tahan kan. Aku mah masuk kuping kanan gak, keluar kuping kiri apalagi. Suara mereka kesumbat ear phone… hahaha ….” Kata Tita sambil tertawa.
“Pantas kamu masih bisa tersenyum, ahhhh Titaaaaa kau ini ajaib …” kata Maya sambil menguyel-uyel kepala Tita.
Kesabaran dan senyum manis saat menghadapi pengguna jasa yang ngeyel memang susah tetap terjaga. Tetap semangat petugas Karantina.... Jangan lupa senyum ya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar