#BaruSebatasIni part 1
#JuliaSays_romance
Rasa sayang membludak di dada saat kubelai wajahnya. Kuingin dia merasakan aliran sayang dari jemariku. Memandang wajah itu dalam jarak sedemikian dekat adalah impian. Menelusuri kulit wajahnya adalah keinginanku dari dulu. Wajah dengan rahang kukuh yang dihiasi helaian janggut yang mulai tumbuh, lekukan kecil di dagu, alis tipis, semua kuraba perlahan.
Dia memandang balik. Rasa sayang yang sama terpancar dari sana. Didorong kekuatan entah dari mana kusentuh bibirnya dengan bibirku. Dia membalas dan aku makin terhanyut dalam mimpi yang jadi nyata.
Perkiraanku salah.
Tak kusangka bibir itu hangat dan mampu memberi janji. Janji yang dalam khayalan terliar sekalipun tak pernah kubayangkan. Dia memelukku semakin erat dan akhirnya secara perlahan mengangkat wajahnya. Memandangku dengan sinar mata yang semakin membuat grogi.
Mendadak aku malu setengah mati. Mengapa seberani itu aku melangkah. Aku ini siapa. Dia itu siapa. Kami bukan siapa-siapa. Rangkaian peristiwa berkelebat dalam pikiran. Saat rasa tertarik itu muncul.
Pekerjaan menghubungkan kami. Di sela pekerjaan, tanpa disadari kami sering terlibat pembicaraan seru, tentang apa saja. Perlahan tapi pasti, titik demi titik kekaguman muncul di hati. Tanpa berbicara dengannya setengah hari saja, terasa ada yang kurang. Secara naluri, kusadari dia juga memiliki ketertarikan yang sama. Tanpa terlalu terlihat dia menjadi pelindungku dari beberapa orang yang bermulut usil. Terkadang dia sengaja menungguku yang harus pulang larut karena pekerjaan. Hingga suatu saat, kurasakan rasa tertarik ini tidak lagi memberi rasa nyaman bagi diriku pribadi.
Beberapa kali terlibat dalam hubungan yang mengecewakan, membuat aku tidak ingin mengambil langkah yang membuat dia mengetahui rasa tertarikku. Aku tidak ingin dikecewakan lagi. Rasa sakit karena hubungan sebelumnya masih terasa dan membayangkan kehilangan dia sebagai sahabat rasanya tak tertahankan.
Aku harus menghindar. Maka kuambil tawaran magang di luar negeri. Tak dinyana, kepergianku malah membuat kami semakin dekat. Kami tetap berbicara melalui aplikasi chatting, dengan frekuensi yang lebih sering. Dia ternyata kehilangan. Secara tersirat dia menyatakan bahwa dia menyukaiku dan aku pun terpana.
Suatu hari, dia menghilang. Aku diblokir dari seluruh media sosial yang dimilikinya. Panik melanda diri. Ada apa. Aku galau dan merasa kehilangan. Walau kami terpisahkan jarak, kedekatan kami seperti tak berjarak. Bisa dibilang, dialah sahabat terbaikku. Dengannya aku sukar berbohong. Dia seperti dapat melihat aku secara transparan sehingga sukar menyembunyikan apapun darinya.
Kucoba memahami, inilah jalan terbaik bagi kami. Mungkin dia sadar bahwa rasa tertarik antara kami hanya semu. Bahwa kami tak bermasa depan. Ku mantra diri sendiri. Ini yang terbaik … ini yang terbaik … terus berulang setiap kali melihat aplikasi chattingnya yang masih diblokir.
Tetapi kebutuhan untuk bercerita padanya terus membara. Pada akhirnya tetap kutuliskan berpanjang-panjang masalahku, kegelisahanku, tawaku … dan cerita apa pun pada aplikasi itu. Tahu pasti tulisan itu tak akan pernah terkirim dan tak akan dibacanya. Tapi aku lega. Setidaknya rasa rindu akan celotehnya tersalurkan. Kadang kubayangkan adegan adegan pertemuan kembali dengannya. Hanya dengan berkhayal, rasa rindu di dada sedikit terobati.
Aku sempat sakit karena sangat merindukannya. Di tengah demam yang melanda, seperti kulihat sosoknya di ujung tempat tidur. Memandangku … hanya memandang. Kugapai bayangannya, tapi ternyata sosok itu hanya dalam angan. Tetapi sejak saat itu, kubulatkan tekad untuk melupakannya. Bila dia menghindariku sampai sedemikian, sudah sepatutnya aku juga menghindari dia dan melupakan persahabatan serta rasa apa pun yang menyertainya.
Kufokuskan diri pada pekerjaan. Kucoba melupakan ...
.
.
.
Dapatkah si aku melupakan dia?