Selasa, 01 November 2016

DHARMA PRIA

"Mas, aku pulang agak larut ya. Barusan nangkap anjing tanpa dokumen. Tadi sudah telpon anak-anak, mereka kusuruh goreng nugget sendiri buat makan malam"

Terdengar sautan di seberang telpon. Perasaan bersalah Dokter Faya karena tidak bisa segera pulang setelah piket usai, tergambar jelas di wajahnya. Sepertinya pak Bayu, sang suami bisa memahami situasi.

Aku tercenung memandang. Tadi siang beliau bercerita bahwa sang suami sedang menggarap proyek besar yang mengharuskannya untuk lembur. Dokter Faya sudah berjanji untuk segera pulang. Tapi apa daya bila ada peristiwa luar biasa seperti usaha penyelundupan ini, sebagai dokter hewan karantina penanggung jawab piket, beliau tidak bisa bergegas pulang.

Kuserahkan dokumen penunjang untuk menahan anjing tersebut. Tanpa kutanya, Dokter Faya menjelaskan bahwa suaminya segera pulang walau seharusnya dia lembur malam ini. Sesaat kemudian beliau segera sibuk mengecek dokumen dan melupakan kehadiranku di ruangan.

Sebagai paramedik yang baru masuk kerja, aku mengagumi dokter Faya. Dedikasi dan komitmennya tinggi terhadap pekerjaan.

Sebagai seorang ibu dari dua anak usia SD, beliau berusaha menyeimbangkan waktu untuk suami, anak dan pekerjaan. Mereka tidak memiliki pembantu. Anak-anak berangkat dan pulang sekolah dengan mobil jemputan. Setelah pulang, mereka terbiasa mendapati rumah yang kosong. Untunglah mereka tinggal di perumahan dengan sistem cluster tertutup. Tetangga sekitar dan pak Satpam membantu mengawasi kedua anak dokter Faya hingga beliau atau suaminya pulang.

Pak Bayu memiliki jadwal kerja yang lebih teratur daripada kami. Hanya sesekali beliau lembur atau keluar kota. Dari cerita dokter Faya, sang suami turun tangan bahu membahu mengurus rumah dan kedua buah hati mereka. Katanya, sewaktu anak mereka balita, urusan menyuapi anak pagi hari adalah tugas sang suami. Siang dan sore diserahkan ke pengasuh. Saat itu pekerjaan pak Bayu lebih fleksibel dari sekarang. Bahkan mengantar anak ke sekolah saat TK pun dilakukan sendiri oleh pak Bayu. Sementara dokter Faya jarang memiliki kesempatan itu.

Sebagai seorang gadis yang masih mencari cinta, aku sering diberi nasehat oleh dokter Faya dan pegawai lain.

"Dita, carilah suami yang memahami pekerjaanmu. Kau bukan PNS biasa dengan jam kerja yang pasti. Kau akan sering pulang malam atau terpaksa menginap di kantor. Tuntutan pekerjaan kita seperti itu. Bila kau punya anak, didiklah mereka untuk mandiri di usia dini. Jangan buat mereka tergantung pembantu atau orang tuanya. Misalnya menyiapkan makan dan menyantapnya sendiri harus mampu dilakukan saat anak masuk usia SD".

Nasehat lebih serius disampaikan ibu kasie kami. Katanya, perempuan Muslim yang sudah menikah harus memiliki ijin suami untuk keluar rumah. Bila suami mengijinkan istri bekerja, ijin itu juga dilengkapi dengan tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga diri saat jauh dari suami. Jangan salahgunakan kepecayaan suami. Tapi suami yang mengijinkan istrinya bekerja apalagi bekerja sebagai pegawai karantina juga harus memahami bahwa istrinya tidak bisa lagi 100% melayani suami. Sesekali menyiapkan makan atau menjaga anak tidak akan meruntuhkan wibawanya sebagai kepala keluarga.

Nasehat lain dari seorang rekan yang memiliki istri sesama pegawai karantina, "Bila suamimu nanti tidak ridho dengan sistem kerja kita, bila dia mengeluh terus menerus bahwa kau terlalu sibuk bekerja atau terlalu menuntut layananmu seperti suami lain yang istrinya tidak bekerja. Maka tidak ada jalan lain, kau harus keluar dari karantina. Hasil kerjamu tidak akan berkah tanpa restu suami, hatimu pun tidak tenang karena merasa bersalah serta merasa gagal jadi ibu dan istri yang baik. Jangan kuatir menjadi ibu rumah tangga. Rejeki tidak akan kemana. Kau bisa berbisnis dari rumah".

Mencari suami bukan hal yang mudah ternyata.

Aku salut untuk para suami pegawai karantina yang merelakan istrinya piket malam.

Para suami yang menyiapkan kopi dan sarapannya sendiri di pagi hari saat istri tercinta masih berjibaku dengan komoditi karantina di pelabuhan atau bandara.

Para suami yang tangan hangatnya terulur mengusap paha memar sang istri yang tersepak sapi di kandang pengamatan.

Para ayah yang tangannya melepuh terciprat minyak panas saat menggoreng ayam untuk makan anak-anaknya.

Para kekasih yang hanya bisa memandang wajah lelah istrinya di tempat tidur dan merelakan diri hanya mendapat kecupan di pipi.

Sebutan Dharma Pria mungkin pantas untuk mereka.
Salam hormat untuk Dharma Pria Karantina

#139LindungiNegeri
#KawalDaulatPangan
#SaveOurBiodiversity

Oleh : JR
Tayang : 4 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut