Sepuluh tahun lalu sewaktu saya menyusui anak kedua, hingar bingar ASI perah sudah melanda. Walau belum banyak ibu yang melaksanakannya. Saat itu bila saya diam-diam memerah ASI di kantor, ada saja yang berkomentar bahwa saya merepotkan diri saja.
"Ngapain tho bu pake diperah ASI-nya? Gak ribet apa?"
Kantor Karantina Hewan Merak dulu itu miris sekali kondisinya. Bekas rumah makan yang disewa dan dijadikan kantor, itu pun harus berbagi dengan Karantina Ikan. Berlantai dua, lantai atas yang berhubungan dengan jalan raya menjadi ruang operasional, sedang lantai bawah terdiri dari 2 kamar untuk beristirahat, ruangan untuk bekerja dan kamar mandi. Kebersihan? Jangan ditanya ... Bila hendak ke kamar mandi, saya memilih menumpang di rumah makan padang di sebelah daripada menggunakan kamar mandi yang ada.
Selesai cuti melahirkan, saya membawa bayi saya ke Merak. Pada tahun yang sama berturut-turut pegawai wanita dan istri dari pegawai hamil. Didahului oleh saya dan disusul yang lainnya. Sehingga surat ijin cuti melahirkan atau ijin mendampingi istri melahirkan laku keras ditandatangani oleh atasan.
Selain saya, ada 2 dokter hewan wanita dan seorang dokter pria. Kedua dokter hewan wanita itu pun cuti melahirkan dengan waktu yang hampir bersamaan. Tinggallah kami berdua. Frekuensi dan volume lalu lintas hewan dan produk hewan yang wajib masuk Karantina di pelabuhan Merak sangatlah tinggi. Kantor buka 24 jam, 7 hari seminggu bahkan di saat lebaran. Saya mau tidak mau harus ikut piket malam. Tidaklah mungkin membebankan operasional kantor kepada satu orang dokter hewan saja.
Akibatnya, saya membawa bayi piket malam ditemani pengasuhnya. Untuk meninggalkannya di rumah saja rasanya tidak tega.
Banyak orang berkata ke saya, "Kasih saja susu formula bayinya. Kan bisa ditinggal di rumah, tidak perlu ikut piket malam!"
Tapi memberikan bayi susu formula di mata saya saat itu bukan pilihan. Jadilah dia ikut piket dan tidur di ruang dokter di lantai atas. Belakang meja kerja saya beri kasur lipat, selimut dan lain-lain agar dia merasa nyaman. Untunglah ruangannya berpendingin udara sehingga sedikit nyaman. Bila komoditas agak sepi saya pun tidur di sebelahnya. Tetapi saat teman-teman mengetuk pintu ruangan dan membutuhkan saya, maka saya harus siap keluar dan bekerja.
Untunglah Nadia, bayi saya, bukan tipe yang rewel. Sepertinya dia tahu bahwa mamanya sedang bekerja. Jarang sekali dia melewatkan malam di kantor dengan rewel tidak jelas apa maunya. Asalkan perutnya kenyang oleh ASI, badannya kering dari pipis maka dia bisa tidur dengan nyenyak. Tidak pedui seramai apapun ruangan kantor.
Membawa Nadia ikut ke Merak hanya berlangsung sebentar sekitar dua bulan saja. Suami dan anak pertama saya bertempat tinggal di Jakarta. Mereka berdua keberatan bila hanya bisa bertemu saya seminggu sekali. Akhirnya Nadia menetap kembali di Jakarta dan saya pulang pergi Jakarta Merak.
Saat itu saya keluar rumah di Jakarta Timur sekitar jam 5.30 dan sampai kembali ke rumah sekitar jam 21 atau 22 bila piket siang. Bila piket malam, maka saya pergi jam 16 dan sampai di rumah jam 12-14 keesokan harinya.
Bila ada dinas luar kota yang lebih dari semalam, maka Nadia saya bawa. Nadia pernah menginap di puncak selama 3 malam bersama saya. Hingga sekarang Bapak Sekretaris Badan Karantina saat itu selalu mengingat saya, karena membawa bayi ikut rapat di Puncak.
Nadia saat itu sudah berumur lebih dari 6 bulan dan sudah diberi makanan pendamping ASI. Susu formula akhirnya diberikan, tetapi hanya bila saya tidak ada di rumah. Bila saya ada, ASI adalah pilihan utama bagi Nadia.
Memilih susu formula pun kami kesulitan. Saya kira dengan memberikan susu formula berharga mahal dengan berbagai tambahan di dalamnya akan membuat Nadia mau meminumnya. Ternyata itu perkiraan yang salah. Banyak merk yang kami coba, tidak ada satu pun yang dia mau. Akhirnya saya mencari tahu penyebabnya dengan bertanya sana sini dan googling (ngomong-ngomong internet di tahun 2005-2006 belum seperti sekarang). Ternyata karena dia biasa minum ASI, maka rasa ASI adalah yang paling enak di lidahnya. Rasa ASI sesuai dengan makanan yang saya makan. Misalnya saya makan daging maka ada rasa daging disitu, saya makan udang maka rasa udang akan terdeteksi samar di lidahnya. Itulah sebabnya dia tidak mau susu formula yang hanya berasa susu saja.
Untuk menyiasati itu akhirya saya gonta ganti merk. Bila dia menampakkan tanda-tanda bosan maka saya langsung membeli merk lain. Di umur 9 bulan, saya memberanikan diri memberikan susu pasteurisasi atau susu sterilisasi. Saya membaca bahwa bayi umur 6 bulan di negara maju langsung diberi susu segar. Susu formula tidak laku disana. Susu segar susah didapat di daerah saya, akhirnya saya menggunakan susu pasteurisasi yang ada di pasaran. Ternyata Nadia mau dan tidak ada masalah. Kantong pun kembali agak tebal, karena harga susu pasteurisasi lebih murah daripada susu formula.
Lalu bagaimana dengan ASI saya? Tadinya saya hendak menyimpan ASI perah dan membawanya pulang untuk persediaan Nadia di rumah. Tetapi situasi dan kondisi kantor sangat tidak memungkinkan saat itu. Belum lagi perjalanan pulang yang membutuhkan waktu minimal 4 jam bila lancar. Kulkas tidak ada di kantor, dan saya belum mengerti cara membawa ASI dengan cooler box.
Tetapi saya tetap memerah ASI saya dan membuangnya. Mengapa? Karena saya tidak mau volumenya berkurang sebelum Nadia cukup umur untuk berhenti minum ASI. Ibaratnya begini, ASI diproduksi dan disimpan di gudang. Bila gudang masih penuh, maka ASI tidak diproduksi lagi. ASI akan diproduksi bila sudah kosong di gudang. Sehingga tindakan saya memerah ASI saat di kantor adalah tindakan untuk mengosongkan gudang tersebut.
Teman-teman sudah tahu bila saya menyelinap ke ruangan bawah dan mengunci pintu kamar. Bahwa saya sedang memerah ASI dan tak lama akan keluar membawa ASI yang telah saya perah serta membuangnya di kamar mandi. Hal itu sering menjadi bahan candaan mereka. Ada yang ingin menciciplah, ada yang ingin menampunglah dan lain-lain. Saya tidak marah bila mereka begitu. Tetapi seperti yang dibilang di awal tulisan ini, banyak yang tidak setuju dan menganggap saya merepotkan diri sendiri.
Saya tetap bersikeras memerah ASI dan membuangnya, karena saya tidak ingin Nadia kekurangan ASI. Hal pertama yang saya lakukan bila sampai di rumah malam hari adalah memberi Nadia ASI. Tentu saja setelah mandi dan berganti pakaian. Saya akan tidur di sebelahnya dan secara otomatis Nadia bangun dan menyusu.
Saya memberikan ASI ke Nadia hingga dia berumur 2 tahun. Di umur setahun, bila hendak pergi bekal Nadia hanyalah susu kotak semacam Ultra dan sebangsanya. Saya tidak pernah membawa termos, susu bubuk dan peralatan membuat susu lainnya. Cukup susu kotak, pampers dan baju ganti. Lebih praktis. Bila dia ingin, maka saya memberinya ASI kapan saja dimana saja.
Bila Nadia lahir sekarang, saya yakin saya tetap memerah ASI, membekukannya dan membawanya pulang untuk persediaan. Saat ini, hal seperti itu adalah sesuatu yang biasa. Setiap kantor bahkan wajib memiliki ruang laktasi. ASI perah adalah tren kekinian untuk ibu bekerja. Beda dengan sepuluh tahun yang lalu.
Inisiasi ASI sejak dini bahkan wajib dilakukan segera setelah bayi lahir. Berbeda dengan dulu. Anak pertama saya, lima belas tahun yang lalu sempat tidak menikmati ASI awal. Dia prematur sehingga harus ditaruh di inkubator selama 2 minggu. Saya berusaha memerah ASI dan memberikannya ke suster di ruangan tersebut. Tetapi ternyata ASI itu tidak diberikan ke bayi saya. Setelah bayi bisa dibawa pulang, maka saya harus berusaha keras mengenalkan ASI ke dia. Untunglah dia mau dan saya bekerja dari rumah saat itu. Anak pertama saya minum ASI hingga umur 2,5 tahun.
Saat ini memang berbeda, ibu yang berusaha memberi ASI ke bayinya didukung penuh oleh lingkungan. Kesadaran untuk memberi ASI ke bayi semaking meningkat. Lebih banyak ibu dan ayah yang paham bahwa susu formula apapun merknya, semahal apapun tetap kurang sempurna bila dibandingkan dengan ASI.
Sewaktu bertugas sebagai penanggung jawab pelatihan di BUTTMKP, saya selalu memfasilitasi peserta yang masih menyusui dan membawa bayinya ikut serta. Tidak ada ruginya memberi kamar khusus dan menambah satu porsi makanan untuk pengasuh bayi sementara sang ibu ikut pelatihan. Dulu saya dibantu oleh teman-teman saat menyusui dan saat ini saya ingin membantu para ibu yang lain.
Saya juga berusaha mengkampanyekan bahwa ASI adalah yang terbaik untuk bayi. Saya percaya setiap ibu pasti bisa memberikan ASI ke bayinya, hanya mungkin volume air susu yang dihasilkan berbeda-beda. Ada yang berkelimpahan ada juga yang hanya sedikit. Intinya hanya satu, niat memberi ASI. Selebihnya Insha Allah ASI tersedia. Selain itu saya juga banyak memberi edukasi bahwa anak tidak butuh susu khusus bila berumur setahun. Susu pasteurisasi di pasaran atau susu segar bila ada lebih baik.
Susu Ibu adalah yang terbaik, karena itulah payudara ada ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar