Senin, 30 September 2019

SENJA DI BUKIT BAMBING

#Antara_Cinta_dan_Persahabatan

Senja di Bukit Bambing
#TitaSeries
#JuliaSays

"Rangga, tunggu aku. Jalanmu cepet banget!" seru Tita setengah berlari.

"Cepetan, kita sudah ditunggu di Balai Desa. Kamu tuh ya, jalan mindik-mindik lelet," Rangga berbalik dan menunggu Tita.

Andi dan Tomo ikut berbalik dan menunggu. Mereka berempat hendak menuju Balai Desa. Setelah 2 minggu masa observasi hari ini adalah kegiatan pertama Rangga. Sosialisasi mengenai KB dan kesehatan reproduksi.

Tita, Rangga, Andi, Tomo, Yanti dan Fajar sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa yang terletak di atas bukit di wilayah Prambanan Yogyakarta. Tidak seperti desa lainnya di Prambanan, desa mereka termasuk desa tertinggal. Jalanan pun masih belum beraspal. Untuk menuju lokasi, dibutuhkan kendaraan yang kuat mendaki bukit terjal. Banyak penduduk belum memiliki jamban yang layak. Saat musim kemarau, sumber air bersih mengering, sehingga penduduk harus membeli air dari desa di bawahnya yang lebih subur. Penduduk usia dewasa didominasi ibu-ibu, para suami dan anak muda rerata merantau ke Yogya atau Jakarta untuk penghidupan yang lebih baik.

Rangga sebagai calon dokter melihat bahwa pemahaman mengenai KB dan kesehatan reproduksi masih rendah. Sehingga hari ini dia melakukan sosialisasi saat arisan rutin ibu-ibu di Balai Desa. Tita sendiri adalah calon dokter hewan, sedang Andi dan Tomo dari Fakultas Teknik, Yanti dari Fakultas Sastra dan Fajar calon dokter gigi. Tiga calon dokter dengan spesialisasi berbeda lengkap ada dalam kelompok mereka.

Tomo sebagai yang tertua didaulat sebagai ketua. Pesannya hanya satu saat mengiyakan permintaan mereka untuk menjadi ketua. Harus saling bantu teman yang lainnya saat berkegiatan. Dan inilah mereka berempat, duduk bareng di depan menemani Rangga yang sedang menerangkan masalah reproduksi. Kebetulan Yanti dan Fajar sedang turun ke Yogyakarta untuk suatu urusan.

Hanya ada 2 wanita dalam kelompok kecil itu. Tita dan Yanti. Dengan cepat mereka berdua menjadi akrab. Program Yanti adalah membantu mengajar bahasa Indonesia di SD dan SMP di desa bawah. Tita menawarkan diri untuk ikut membantu mengajar bahasa Inggris dan Rangga mengajar Matematika. Kebersamaan membuat keakraban meningkat.

Rangga menaruh perhatian yang sama pada keduanya saat sedang bertiga. Tita merasa menemukan sosok teman yang menyenangkan saat bersama Rangga. Diskusi antar mereka berdua selalu berlangsung hingga tengah malam. Ditemani Yanti yang tertidur di kursi ruang tamu.

Perlahan Tita menangkap bahwa Yanti menyimpan rasa yang berbeda saat bersama Rangga. Bila tak ada Rangga, Yanti gelisah. Bila ada, Yanti mendekat dan memonopoli. Perlahan, Tita memberi banyak kesempatan bagi Rangga dan Yanti untuk berdua. Mereka sahabat baiknya disini, dan Tita berharap persahabatan ini langgeng walau KKN telah usai.

Hingga suatu hari, Tita baru saja usai mengobati sapi sakit ditemani Fajar dan Andi, saat Rangga datang tergopoh mengajaknya turun ke Yogyakarta.

"Kamu ikut aku sekarang ya, bu Ani yang kemarin dirujuk ke RS Sardjito  butuh darah golongan O. Darahmu kan O, apalagi kamu lumayan dekat sama keluarga bu Ani," ajak Rangga.

Tita segera mengiyakan permintaan Rangga. Rumah Bu Ani berjarak 100 meter saja dari rumah yang mereka tempati saat KKN. Beberapa hari yang lalu, beliau atas rekomendasi Rangga masuk RS karena pendarahan. Rangga menduga kehamilan anak keenam dari Bu Ani bermasalah.

Menggunakan sepeda motor, Tita dan Rangga meluncur turun ke RS Sardjito. Sesampainya disana, bu Ani sudah mendapatkan darah dari donor lainnya. Setelah beranjangsana dengan para senior Rangga di RS tersebut. Mereka berdua pun pulang kembali ke lokasi KKN.

Hari menjelang sore, mendung terlihat menggantung. Butuh 2 jam untuk mencapai lokasi. Mau tak mau, mereka harus pulang malam itu. Esok pagi, mereka mendapat jadwal pagi untuk mengajar di SMP.

Candi Prambanan sudah terlewat saat hujan deras turun. Rangga segera berhenti dan mengeluarkan mantel hujan. Sayang hanya 1 mantel yang dia punya. Tita terpaksa berlindung di balik punggung Rangga.

"Tita, mana tanganmu? Sini kedepanin, biar hangat," kata Rangga lembut seraya meraih tangan Tita. Digenggamnya.

Tita terperangah. Ingin menarik tangannya, tapi sudut hatinya juga tak rela. Walau dia bersikap seolah merelakan Yanti dan Rangga, sebenarnya Tita tak rela. Dalam sosok Rangga ditemukannya lelaki yang selama ini dicarinya.

Motor menembus hujan yang masih turun, Rangga sengaja melambatkan laju kendaraannya. Jalanan licin dan hujan yang tertumpah membuat dia harus lebih berhati-hati.

Sesaat sebelum mendaki bukit menuju desa mereka. Hujan pun berhenti. Rangga sengaja berhenti melipat jas hujan. Ditatapnya Tita yang sedari tadi diam saja.

"Jalan lagi ya, biar gak kemalaman kita sampai di lokasi. Kamu kenapa diam aja dari tadi?" ujar Rangga seraya menyalakan motor kembali.

Dengan luwes kembali diraihnya tangan Tita dan ditariknya tubuh mungil itu hingga memeluknya. Tita berbunga, hatinya menjerit bahagia. Disandarkannya kepala ke bahu belakang Rangga.

Sesampainya di sebuah bukit yang dinamakan Bukit Bambing, Rangga berhenti. Diajaknya Tita duduk menikmati senja yang mulai turun. Nuansa senja kali ini merah darah. Indah.

"Kenapa nama bukit ini Bambing ya? Kok bukan Bambang? Artinya apa kira-kira?" Tita berusaha mengurai kecanggungan antar mereka.

"Entah apa arti Bambing. Aku sih maunya, bukit ini dinamakan bukit cinta," kata Rangga sambil menatap Tita lekat.

Tita bergetar. Mendadak raut wajah Yanti melintas. Segera dia berdiri dan mengeluarkan kamera yang selalu dibawanya. Diabadikannya suasana senja.

Setelah senja itu, Tita bingung harus bersikap bagaimana. Rangga kembali bersikap biasa. Membagi perhatian sama besar padanya dan Yanti.

Mendekati akhir masa KKN, Yanti curhat panjang lebar ke Tita. Yanti bingung dengan sikap Rangga yang tak jelas. Tita tak bisa menanggapi. Dia juga ingin bercerita hal yang sama sebenarnya.

Suatu hari, Tita baru pulang dari memeriksa kebuntingan seekor sapi milik penduduk, saat melihat Yanti dan Rangga di teras rumah. Dilihatnya tatapan memuja Yanti pada Rangga. Coba dibacanya bahasa tubuh Rangga, tapi tak tertangkap jelas. Saat itu Tita tahu bahwa dia harus mundur. Persahabatannya dengan Yanti cukup menyenangkan. Tidak sebanding bila dia mengejar Rangga. Rangga tidak pernah lagi memberikan sinyal yang jelas sejak peristiwa kehujanan itu.

KKN usai, Tita pun menghindari Rangga. Senja di Bukit Bambing adalah kenangan terindah yang pernah dimilikinya. Biarlah itu cukup jadi kenangan

Disclaimer:
Bukit Bambing ada di Prambanan
Nama dan peristiwa tidak nyata, hanya khayalan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut