Perjalanan Menuju Drh
Bagian 3: Kamera dan Panitia
#JuliaSays
Papa saya suka sekali memoto anaknya dalam berbagai kegiatan. Jaman SD, foto saya dan adik-adik di sekolah lumayan lengkap. Sejak SMP, diperbolehkan membawa kamera sendiri ke sekolah. Hayo siapa yang pernah jadi teman sekelas saya di SMP SMA? Pasti saya punya fotonya hehehe.
Sebenarnya saat membujuk saya masuk Kedokteran atau Kedokteran Hewan, Papa menjanjikan sesuatu yang mustahil terbeli. Saat itu kami sekeluarga memiliki VW Combi, alias mobil roti tawar. Saat itu saya ngiler dengan mobil VW Kodok. Lucu pasti jalan-jalan pakai VW Kodok, bujuk saya saat itu ke Papa.
"Ya udah, kalau bisa masuk UNDIP atau UGM, ntar Papa beliin VW Kodok!" ujar Papa.
Sebenarnya janji itu, gak terlalu mendorong saya belajar keras sih. Saya belajar karena ingin membuktikan bahwa saya mampu lolos UMPTN. Jaman SD, saya selalu Juara 2, gak pernah juara 1 hehehe. Saat SMP, sempat masuk 5 besar di kelas saat kelas 1, selanjutnya melorot terus. SMA, bisa 20 besar di kelas doang hahaha. Saingan saat SMA itu berat. SMA 12 adalah salah satu unggulan di Duren Sawit saat itu. Sebagai anak sulung, yang dijadikan panutan, lolos UMPTN pasti sangat diharapkan.
Kalimat pembujuk dibelikan VW Kodok sebenarnya sudah saya lupakan. Tapi saat pertengahan semester 1, sehabis kepanasan mengayuh sepeda pulang kuliah. Saya iseng menagih ke Papa. Papa dan Mama rutin menelpon via telpon di kost. Ini tahun 90an, belum ada HP. Andalan untuk tahu kabar anaknya ya via telpon.
Jawaban Papa, "Lha kan sudah dibelikan sepeda gress buat kuliah"
Sebenarnya sih, memang gak ada duitnya buat beli mobil hahaha. Papa gak terlalu yakin, saya mampu menembus UGM sebenarnya. Akhirnya saya dibelikan kamera Canon Eos sebagai pengganti. Hadiah yang saya sambut dengan suka cita.
Nah, saat saya terjun di BEM Universitas dan Fakultas, saya yang punya kamera selalu dijadikan panitia di berbagai kegiatan. Nama saya selalu tertera di seksi perlengkapan dan dokumentasi.
Saya ya ikut guntingi karton, busa, stiker atau sterofom untuk spanduk. Sekaligus memasangnya sebelum acara berlangsung. Jaman itu gak ada percetakan spanduk gaes. Tulisan di spanduk ya dibikin manual, kata demi kata ditulis di sterofom, digunting dan dipasang satu persatu di kain spanduk. Bayangin kalau tulisan sepanjang kereta api, bisa lebih dari 24 jam bikinnya. Tentu saja tugas utama saya, bagian ceklak ceklek. Jadi kalau sampai sekarang, saya selalu berperan jadi pengarah gaya sebelum difoto, itu adalah bakat yang sudah terasah bertahun-tahun hahaha ...
Alhasil foto saya jarang ada. Lah saya yang moto! Hiks. Atau kalau saya ada, hasilnya buram karena gak fokus, atau komposisi yang gak berimbang.
Kemudian, saya bertemu teman yang suka foto juga di gelanggang. Jadilah kami hunting objek foto, belajar panning, ISO, cahaya dan sebagainya. Toko Central di Jalan Solo adalah tempat nongkrong favorit, karena menawarkan harga cetak yang murah dan berkualitas.
Seorang sahabat, saat itu masih temenan, sebutin namanya gak? Hehehe. Demi amannya, kita kasih inisial aja ya. Namanya SY.
SY pernah berjanji ke saya, "Suatu hari nanti, kita akan keliling Jawa, memotret semua orang-orangan sawah yang bisa kita temukan!"
Kok orang-orangan sawah? Ya saya terobsesi dengan scarecrow alias orang-orangan sawah. Bentuknya gak ada yang sama antar sawah satu dengan yang lain. Bahkan antar daerah pun berbeda. Kalau kebetulan lihat sawah saat menjelang panen, pasti saya mencari scarecrow dan ceklak ceklek kalau masih ada film di kamera.
Btw, saat itu kalau mau foto-foto, dibatasi oleh jumlah, kalau gak 24 ya 36 jepretan. Saya ahli memasang film, sehingga bisa mendapatkan hasil 25 atau 37 kadang 38 jepretan. Belajar dari nongkrong di Toko Central itu. Satu kegiatan biasanya saya dikasih jatah 1-2 roll film isi 36. Kalau dapat 2 roll isi 36, artinya panitia rada punya duit. Kalau dapat jatah 1 film isi 24, ya berarti duit panitia seadanya.
Kadang, saya cuma ditanya, "Masih punya film gak di kamera? Fotoin kegiatan anu dong."
Saya pun menyumbang 1-2 jepretan. Tapi pada dasarnya saya suka memoto orang, walau gak dikasih film, ya tetap saya fotoin kegiatan yang kebetulan saya tahu.
Menjelang akhir kuliah sarjana, saya sering diminta tolong memoto hasil atau proses skripsi, sebagai bukti penelitian. Selama masa kuliah, saya juga sering memoto preparat praktikum untuk bahan belajar. Dapat bayaran? Ya gak lah, kadang dapat traktiran aja. Saya gak pernah hitungan soal moto-memoto ini. Asal saya bisa berlatih menggunakan berbagai bukaan rana, cahaya dan sebagainya, sudah cukup buat saya.
Efek samping dari kesukaan fotografi ini adalah, koleksi foto yang bejibun selama masa kuliah. Ada mungkin 10 album besar.
Selain itu, berkat bisa memoto, saya bisa kenal dengan banyak orang (walau sebagian besar saya lupa namanya), serta ikut dengan banyak kegiatan.
Lalu bagaimana dengan kuliah?
Lanjut lagi ya besok ...
Foto atas diambil oleh sesama teman nongkrong di Toko Central. Seingat saya ini rapat BEM atau Senat Universitas di sebuah vila di Kaliurang. Muka saya sudah ngantuk mendengarkan paparan, tapi tetap harus standby untuk mengabadikan kegiatan.
Foto bakti sosial BEM FKH UGM di Kaliurang. Foto bersama panitia, ketua BEM dan ketua Senat FKH. Pose saya seperti itu, karena harus berlari mengambil posisi setelah menyetel kamera pada mode otomatis. Tas kamera itu yang selalu saya bawa, bukan tas girly kekinian hehehe.