Kamis, 28 Mei 2015

RAMADHAN SUATU HARI YANG LALU (PART 2-ANTARA CIBITUNG DAN JAKARTA)

Di awal tahun 2011, saya dipindahkan ke Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian (BUTTMKP). Saat itu sedikit kecewa, karena tadinya berharap ditempatkan di laboratorium Karantina yang terletak di Jalan Pemuda Jakarta Timur, yang lokasinya dekat rumah. Tetapi saat ini tidak ada seberkas pun rasa kecewa karena tidak jadi ditempatkan di sana, karena saya jatuh cinta setengah mati dengan pekerjaan saya di BUTTMKP.

BUTTMKP adalah instansi baru di Badan Karantina Pertanian, dengan tugas pokok yang sangat jauh berbeda dengan unit pelaksana teknis karantina yang lain. Untuk menuju ke BUTTMKP dari rumah di Jakarta Timur saya menggunakan kendaraan dinas kantor. Bila menggunakan kendaraan umum tidak praktis karena harus berkali-kali ganti moda serta waktu yang lumayan lama. BUTTMKP secara administratif berlokasi di wilayah kecamatan Cikarang Barat, tetapi orang lebih mengenai wilayah ini sebagai bagian dari Cibitung Bekasi.

Saat bertugas di Merak, dari rumah ke kantor saya hanya berganti kendaraan 3 kali. Dari rumah ke terminal Pulogadung dua kali angkot kemudian naik bis AKAP hingga di depan kantor. Sedangkan menuju BUTTMKP, saya harus berganti kendaraan hingga 7 kali. Entah mengapa biaya angkot di Bekasi lebih mahal daripada di Jakarta dengan jarak tempuh yang sama.

Untuk itu akhirnya kendaraan dinas saya gunakan untuk menghemat waktu dan biaya. Kebetulan ada dua orang teman yang rumahnya berdekatan sehingga kami bertiga sering menggunakan satu mobil yang sama.

Seorang teman berkomentar, "May, kalau kamu pake mobil sendiri dan gak naik bis lagi, jangan-jangan gak ada lagi yang bisa kamu ceritakan dari perjalanan pulang pergimu. Tidak seperti saat kemarin dari Merak-Jakarta..."

Iya sih bisa dibilang seperti itu, karena kegemaran saya mengamati orang lain tidak terjadi. Tapi ternyata banyak hal yang bisa diceritakan dari lima tahun menyusuri jalanan antara Cibitung-Jakarta.

Di tahun 2011 menempuh jarak 35 km dari rumah ke kantor hanya membutuhkan waktu kurang dari 45 menit via Tol JORR lanjut Tol Jakarta-Cikampek. Saat ini minimal butuh waktu 60 menit itupun harus keluar rumah maksimal jam 5.45. Lewat dari jam 5.45 huhuhu siap-siap pegel hati dan pegel kaki "nginjak" kopling. Arus keluar Jakarta ternyata sama padatnya dengan menuju Jakarta di hari kerja. Kemungkinan semakin banyak orang yang bekerja di daerah Cibitung, Cikarang, Karawang dan sekitarnya tetapi berumah di Jakarta.

Jam masuk kantor di bulan puasa biasanya lebih lambat 30 menit dan jam pulang 1 jam lebih cepat (08.00-15.00 WIB). Walaupun demikian saya dan teman yang biasa bareng tetap berangkat seperti biasa yaitu antara pukul 5.45-06.00 WIB. Selama bulan Ramadhan tidak ada lagi kehebohan pagi hari setelah shalat subuh seperti di hari biasa, karena anak-anak tidak tidur lagi setelah sahur dan shalat subuh. Mereka biasanya langsung mandi dan siap berangkat sekolah. Alhasil mamanya sudah dandan cantik sebelum jam 5.15.

Tiga minggu pertama di bulan Ramadhan, berangkat pagi hari adalah saat yang menyenangkan. Bebas stres dari kemacetan. Jalan tol lancar tanpa hambatan. Bahkan motor-motor yang biasanya sudah berseliweran di daerah Cibitung pun tidak sebanyak hari biasa. Tapi jangan harap hal yang sama terjadi saat pulang kantor.

Sore hari di saat Ramadhan apalagi bila waktu telah menunjukkan pukul 17.00 ke atas adalah saat yang mengerikan bagi saya bila harus menyetir sendirian. Sepertinya semua orang ingin buru-buru pulang ke rumah. Lampu merah tidak diperdulikan, saling sikat, serobot, ngebut apa pun dilakukan hanya demi mengejar saat berbuka puasa di rumah masing-masing.

Sangat jarang sebenarnya saya bisa pulang tepat waktu, di bulan Ramadhan sekalipun. Biasanya saya putuskan menunggu waktu shalat Ashar baru pulang. Sehingga paling cepat keluar kantor jam 16.00 WIB. Saat itu merupakan jam pulang dari beberapa pabrik di sekitar kawasan Industri MM 2100 Cibitung. Ada sebuah jembatan di Kalimalang yang merupakan titik kemacetan di sore hari. Siap-siap "stuck" di jembatan tersebut minimal 30 menit, kemudian harus terseok-seok menempuh lautan motor dalam perjalanan ke pintu tol Grand Wisata/Tambun. Sekeluarnya di pintu tol Bintara/Pondok Kopi siap-siap lagi "stuck" di dekat flyover Pondok Kopi. Alhasil minimal 2 jam perjalanan harus ditempuh untuk pulang.

Biasanya saya selalu menyiapkan botol air minum dan makanan ringan di mobil untuk membatalkan puasa. Apalagi bila keluar kantor di atas jam 16.30. Tetapi bila pekerjaan baru selesai menjelang jam 17.00, saya biasanya memilih untuk berbuka puasa di kantor serta shalat Magrib sebelum pulang.

Ada suatu kejadian berkesan. Saat itu entah mengapa jalanan macet tak terhingga dari kantor hingga di dekat rumah. Padahal saya dan seorang teman keluar kantor kurang dari jam 15.30. Sebebasnya dari kemacetan di flyover Pondok Kopi menjelang flyover Raden Inten mendadak arus jalan terhenti. Mobil tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Stuck. Saya kira bisa sampai rumah sebelum jam 17 sehingga tidak menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk membatalkan puasa. Bahkan sebungkus permen pun tidak ada di tas ataupun di mobil. Lima belas menit menjelang berbuka, mobil kami masih belum bergerak juga. Anehnya tidak ada satu pun pedagang asongan yang menjual minuman di sekitar kami. Sehingga saat adzan Magrib berkumandang kami hanya bisa pasrah dan diam tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kami tertawa terbahak-bahak menertawakan diri sendiri untuk membuang rasa kesal. Rasanya "gondok" karena kok ya kena macet sudah di dekat rumah. Sebuah pelajaran untuk selalu menyelipkan botol air di mobil menjelang pulang kantor di bulan puasa.

Menjelang lebaran, mulailah pemandangan unik dan khas terjadi di jalan raya. Kami saling tebak menebak kira-kira kemana mobil-mobil itu mudik atau dari mana mobil tersebut berasal saat arus balik, berdasarkan bawaan yang terlihat di atap mobil ataupun bagasi belakang.

Ternyata apa pun moda transportasi mudiknya, tetap ciri khas mudik selalu terlihat. Kardus. Ya kardus. Kardus terletak di atap mobil, kardus terselip di bagasi belakang. Orang menyempil duduk di antara kardus. Tiada mudik yang berkesan tanpa kardus. Tidak hanya penumpang bis ekonomi non AC antara Jakarta-Merak yang sering membawa kardus tetapi juga pemudik yang menggunakan mobil pribadi.

Belum lagi kardus yang terikat rapi di motor. Ada motor yang sengaja menambahkan beberapa senti meter kayu di bagian belakang tempat duduk untuk menaruh kardus. Kardus juga ditaruh di atas bagasi motor yang sering disebut "magic jar" itu. Kardus sering ditemui terapit di kaki depan antara bangku dan setang.

Hal yang menyedihkan saat arus mudik berlangsung adalah melihat anak-anak yang duduk di atas motor bersama orang tuanya. Setiap kali melihat bayi digendong ibunya dan sang kakak duduk di depan ayahnya, saya hanya berharap bahwa tujuan yang mereka tempuh hanya dekat saja. Paling jauh Cikampek atau Subang. Anak kecil yang duduk di depan adalah yang paling membuat miris. Merekalah yang menerima angin kencang dan debu jalanan pertama kali sebelum sang ayah.

Pernah saya melihat, satu motor berisi lima orang yang terdiri dari bayi yang digendong ibunya, anak nomor dua di tengah antara bayi dan ayah serta kakak nomor satu di depan. Belum kardus, tas dan plastik yang bergelantungan di motor. Kalau sudah seperti ini saya tidak tahu lagi harus berbuat apa. Apalah saya ini, yang duduk manis di mobil ber AC kemudian menyalahkan sang ayah dan ibu yang nekat membawa anak-anaknya untuk mudik. Pastilah banyak pertimbangan di pikiran mereka. Sekali lagi saya hanya bisa berdoa bahwa tujuan mereka hanya dekat saja. Masih di wilayah Jawa Barat yang bisa ditempuh kurang dari 6 jam perjalanan.

Yang unik menjelang lebaran adalah munculnya posko-posko peristirahatan sepanjang jalan Kalimalang yang diorganisir oleh Partai politik atau organisasi pendukung partai. Terutama menjelang pemilu kemarin. Posko ini terutama menyasar pemudik yang menggunakan sepeda motor. Ada posko standar dalam arti dilengkapi dengan tempat duduk-duduk serta makanan minuman gratis saat berbuka puasa tetapi juga ada yang komplit. Komplit semua ada. Ada pijat gratis, petugas kesehatan dan eng ing eng.... panggung dengan penyanyi serta sound system gebyar.

Selain posko peristirahatan, sepanjang jalan Kalimalang juga diwarnai oleh penukar uang recehan. Mereka sengaja memajang gepokan uang ribuan, lima ribuan hingga sepuluh dan dua puluh ribuan di pinggir jalan tanpa rasa takut uang-uang tersebut disambar orang. Untuk segepok uang ribuan bernilai Rp. 100.000,00 kita harus menyiapkan uang antara Rp. 105.000-110.000 rupiah.

Penjaja makanan dan minuman untuk berbuka puasa jangan dilewatkan. Ini yang sering membuat jalanan tersendat karena motor dan mobil sering parkir sembarangan untuk membeli jajanan yang dijual mereka. Saya sendiri belum pernah membeli makanan dan minuman untuk berbuka puasa yang dijajakan di pinggir jalan tersebut sehingga tidak bisa merekomendasikan makanan dan minuman apa yang terenak. Sekilas melihat yang dijajakan sepertinya semacam kolak, gorengan, bubur sumsum, es buah, es kelapa muda dan sebangsanya.

Menjelang puasa hingga H-7 lebaran, truk dan kontainer yang mendistribusikan barang jumlahnya meningkat drastis. Dikarenakan H-7 dan H+7, truk dan kontainer dilarang melintas di jalan tol dan pantura, kecuali yang mengangkut sembako dan ternak.

Berada di jalan tol di hari-hari mendekati lebaran rasanya berbeda. Berada di antara mobil dengan bagasi penuh dan wajah-wajah ceria, kami yang masih patuh berangkat kantor dan menggunakan seragam lengkap serasa "out of place".

Satu hal menggelitik, saat puasa sebenarnya adalah saat menahan diri. Menahan diri dari emosi apa pun. Godaan terbesar dari menahan emosi adalah saat terjebak macet menjelang magrib. Heran melihat orang sengaja melanggar aturan lalu lintas yang kemudian menyebabkan macet parah di setiap perempatan. Alasan yang terlontar pasti ingin segera sampai di rumah untuk berbuka puasa bersama dengan yang tercinta. Tetapi apakah alasan tersebut cukup untuk melakukan pelanggaran lalu lintas yang pada akhirnya malah membuat banyak orang berbuka puasa jamaah di jalan?

Seorang muslim yang baik tidak hanya mematuhi aturan agamanya, tetapi juga aturan negara dalam hal ini aturan berlalu lintas. Jangan melanggar lampu lalu lintas, jangan lawan arus, bersabar dan mendahulukan yang lain saat di perempatan/pertigaan tanpa lampu lintas. Insha Allah Magrib tidak terlewat dan masih bisa berbuka bersama di rumah.


This note is dedicated to my best friends, ACH and URH. Thanks for the time we share for the past 5 years.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut