Selasa, 15 September 2015

CINTA SEPUDAR PARFUM

Kupandang sekeliling, hijau dimana-mana. Udara dingin Kaliurang menusuk tulang. Kurapatkan jaket dan kupandang lelaki yang duduk di sebelahku. Rahang dengan garis yang tegas, rambut tipis tertiup angin serta mata yang sering melihatku dengan kilauan cinta. Dia hanya sedikit berbicara sejak kami berangkat dari Yogya pagi tadi.

"Kita harus putus!" katanya perlahan.

Aku kaget. Hubungan kami masih baru, masih dalam hitungan bulan. Sekilas pun dia tidak menyiratkan bahwa hubungan kami harus diakhiri.

"Kenapa?" aku bertanya lirih. Dadaku serasa sesak. Kebahagiaan yang beberapa detik lalu meraja disana tergantikan oleh rasa perih tak terkira.

"Karena memang harus," jawabnya perlahan. Kali ini dia melihat mataku yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Jangan menangis. Aku sayang kamu, tetapi kita tidak ditakdirkan bersama," katanya lagi sambil menggenggam erat tanganku.

Aku tergugu. Air mataku mengalir deras tanpa suara.

"Kenapa? Kenapa Bram? Kau tidak bisa tiba-tiba memutuskan kita untuk berpisah, tanpa aku tahu apa alasannya."

Dia hanya memandangku lama dan kemudian memelukku erat. Aku menumpahkan air mata di jaket yang dia kenakan. Parfum yang dikenakannya pagi itu sudah pudar wanginya, bau badannya yang kusuka memenuhi cuping hidungku. Kuserusukkan lagi kepalaku di dalam pelukannya untuk menghirup bau yang kusuka.

Dia masih memelukku saat dia berkata lagi, "Aku sayang kamu. Kamu harus yakin akan hal itu. Tetapi ada beberapa hal yang tidak bisa aku terima dari hubungan kita."

Dia mengusap rambutku dan berkata, "Beberapa hari lalu, Tito datang ke kosku. Dia menanyakan bentuk hubungan kita berdua. Kata dia, kau masih pacarnya!"

Aku tersentak. Kulepaskan pelukannya, "Tito bukan pacarku. Kamu tahu itu. Hubungan kita sudah lama berakhir, bahkan sebelum aku memutuskan untuk benar-benar meninggalkan dia."

"Tapi tidak seperti itu yang dia katakan ke aku. Dia bilang, kau masih miliknya dan menyuruh aku untuk mundur!"

Dengan nanar kutatap matanya, "Kamu memilih mundur? Kamu tidak percaya kata-kataku bahwa aku dan Tito sudah berakhir?"

"Kau membohongiku Tia. Kalau kau dan dia sudah berakhir, kenapa kamu masih ramah padanya? Kamu tahu perasaanku saat kamu beramah tamah dengan dia di depanku?"

"Bram, dia temanku. Walau dulu kami pernah punya hubungan yang istimewa tidak berarti saat hubungan itu berakhir, aku dan dia menjadi musuh. Dia adalah salah satu sahabatku, selain kamu," air mataku berhenti mengalir. Rasa marah perlahan mendesak keluar dari hatiku.

Tito dan aku sudah lama berpisah. Hubungan kami putus sambung. Aku tidak tahan dengan sikapnya. Dia ramah, baik pada siapa saja, terutama pada perempuan cantik. Keramahannya itu kadang disalahartikan oleh para perempuan yang dekat dengannya. Celakanya bagiku, Tito membalas setiap perhatian para perempuan itu. Tidak terhitung beberapa orang perempuan terutama adik kelas yang menjadi korbannya. Sementara aku memaafkan lagi dan lagi setiap kali dia kembali padaku.

Sahabatku yang lain pernah berkata bahwa aku perempuan bodoh, yang mau saja diperlakukan semena-mena oleh Tito. Aku lelah berurai air mata setiap kali dia punya hubungan baru dengan perempuan lain. Akhirnya kuputuskan bahwa hubungan kami harus benar-benar berakhir. Saat Tito meminta maaf dan berjanji untuk memperbaiki hubungan kami, aku menyatakan tidak.

Aku melakukan tindakan drastis. Aku pindah kos dan sengaja meminta staf akademik untuk tidak satu kelompok koas dengannya. Sebisa mungkin aku menghindar saat bertemu di kampus. Barulah Tito sadar, bahwa kali ini aku serius untuk berpisah. Tetapi walau bagaimanapun dia adalah salah satu temanku, sehingga kami masih sesekali mengobrol di rapat organisasi yang kami ikuti. Dia juga masih duduk di sisiku saat kuliah, tetapi ajakannya untuk kembali bersama selalu kutolak dengan halus.

Saat yang sama, aku menemukan bentuk hubungan baru dengan Bram. Kami sudah berteman sejak lama. Dia selalu ada saat aku ingin berdiskusi hal-hal lain di luar kuliah. Wawasannya luas dan tak kusangka dia ternyata tipe yang sangat perhatian. Lambat laun aku jatuh hati dengannya dan melupakan Tito. Kami pun memutuskan untuk bersama. Tetapi kebahagiaan yang kurasakan bersama Bram ternyata hanya dalam hitungan bulan. Saat ini dia dengan tegas menyatakan bahwa kami harus berpisah.

"Bram tahukah kamu, walau hubungan kita masih baru perasaanku ke kamu lebih dalam daripada aku ke Tito," kuulurkan tangan untuk mengusap pipinya. "Aku tidak bisa berpisah dari kamu," lanjutku lirih.

Bram memegang tanganku yang masih berada di pipinya. Kami bertatapan.

"Tia, maafkan aku. AKu tidak bisa memiliki perempuan yang masih dimiliki lelaki lain."

Kutemukan ketegasan di matanya, di antara binar cinta yang sesekali masih terlihat. Aku tahu dia serius dengan kata-katanya. Hatiku retak berkeping-keping.

Aku cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa bila dia memutuskan sesuatu, maka akan susah untuk digoyahkan. Aku membalikkan badan sambil berurai air mata. Aku berlari menyusuri jalan setapak yang tadi kami susuri. Tidak percaya bahwa beberapa saat yang lalu kami melewati jalan ini sambil bergandengan tangan.

AKu mendengar derap kaki di belakangku. Bram berhasil menyusul dan memelukku dari belakang, Aku terisak.

"Tia, aku sayang kamu. Tapi kita tidak bisa bersama. Maafkan aku," Bram membalikkan badanku dan menarikku ke dalam pelukannya.

Aku tidak berkata apa-apa. Baru kali ini kurasakan rasa sakit seperti ini. Saat pertama Tito dan aku putus, rasanya tidak seperti ini. Kusadari bahwa Bram lah yang lebih kucintai daripada Tito. Dialah lelaki yang ingin kuserahkan seluruh hidupku.

Kuhirup parfumnya yang mulai memudar, mematrinya di dalam ingatan. Setitik harapan timbul di hatiku, bahwa suatu hari nanti Bram akan tahu sedalam apa cintaku padanya. Biarlah kami berpisah kali ini. Biarlah. Waktu yang akan membuktikan bahwa Bram salah, akulah satu-satunya perempuan di dunia ini yang mencintainya sepenuh hati.

Cintanya mungkin bisa memudar seperti parfum yang digunakannya, tetapi tidak dengan cintaku.



Dedicated to someone...
Thanks to LS atas judul yang menginspirasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut