Rabu, 09 September 2015

KUKU

Pagi ini sengaja memotong kuku pendek-pendek karena esok hari hendak membantu pelaksanaan praktikum "Handling and Restrain" hewan bagi paramedik. Sewaktu masih bekerja di lapangan saat di pelabuhan Merak dulu, saya tidak pernah berkuku panjang. Rasanya risih melihat kuku kotor terkena debu jalanan. Belum lagi bila harus menggunakan sarung tangan karet, kuku panjang bisa membuat sarung tangan robek. Memiliki kuku panjang serta rutin diberi inai/pacar sebenarnya baru dimulai ketika bekerja di balik meja sekarang ini. Senang saja rasanya melihat tangan terlihat cantik dengan kuku panjang.

Sewaktu koas dulu, juga jarang berkuku panjang. Setiap hari memegang beragam hewan, menguji spesimen di laboratorium, atau berkotor-kotor melakukan pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah alasan kenapa kuku mahasiswi koas Kedokteran Hewan diwajibkan pendek. Sebenarnya tidak ada aturan tertulis untuk berkuku pendek. Tetapi demi alasan kepraktisanlah, para mahasiswi jarang berkuku panjang.

Usai pelantikan dokter hewan, saya sempat praktek. Sekali lagi saya harus berkuku pendek. Tidak mungkin rasanya seorang dokter hewan praktek memiliki kuku panjang. Alhasil waktu menikah, sang perias pengantin menyesali kuku pendek saya karena tidak terlihat cantik dimatanya. Sambil memakaikan inai, dia berkeluh kesah panjang pendek. Saya hanya tersenyum tidak berdaya.

Setelah menikah, saya ikut suami ke Yogya dan tidak melanjutkan praktek. Keinginan berkuku panjang harus ditunda karena anak pertama lahir. Memegang bayi rasanya tidaklah nyaman bila berkuku panjang. Rasa takut kuku akan menggores kulitnya yang lembut membuat saya menunda lagi keinginan berkuku panjang. Jangankan merawat kuku, menyisir rambut pun kadang tidak sempat saat itu. Mengurus bayi hanya berdua suami, tanpa bantuan orang lain membuat saya pontang-panting.

Suatu hari, saya meminta tolong suami untuk memotong kuku bayi kami. Saya kesulitan memotong kuku sekaligus menggendongnya, karena bayi kami tipe aktif yang tidak mau diam. Suami pun memotong kuku bayi kami satu demi satu. Satu hal yang saya lupakan, ruangan tempat memotong agak gelap dan suami tidak memakai kacamatanya. Tanpa sengaja, dia memotong sedikit kulit ari pada jari manis, akibatnya darah pun mengucur. Tidak deras hanya cukup banyak untuk membuat kami berdua panik. Kami pun segera melarikan bayi kami ke rumah sakit. Maklum anak pertama, segala hal yang tidak normal ditanggapi dengan kepanikan. Padahal sebenarnya hanya dengan menekan luka menggunakan kapas dan memberi bethadine persoalan pun selesai. Perawat yang menangani di ruang UGD pun menyatakan bahwa ini bukan luka besar yang perlu dibawa ke RS, tetapi orang tua panik ya tetap saja panik. Apa pun yang dikatakan orang. Hal ini membuat suami trauma, tidak pernah lagi dia mau memotong kuku anak-anaknya. Dia memilih bebersih rumah atau setrika daripada memotong kuku kedua anak kami. Hahaha... tentu saja saya suka dengan pilihan dia.

Anak kami yang sulung sudah tidak pernah lagi saya potongkan kukunya sejak kelas 1 SMP. Tetapi sesekali saya sengaja meluangkan waktu untuk memotong dan membersihkan kuku kaki dan tangannya. Bukan karena dia tidak bisa, tetapi saat memotong kuku menurut saya adalah saat kami berdua untuk bercerita banyak hal. Sesekali saya juga memotong kuku kaki dan tangan suami, tapi dia kurang suka dipotongkan kukunya. Katanya, kalau saya yang memotong terlalu pendek dan terasa geli. Entah dimana hubungannya potong kuku dan rasa geli.

Sejak bekerja di Bekasi, mulailah saya agak genit memanjangkan kuku. Kewajiban untuk memegang hewan dan masuk ke laboratorium sudah sangat berkurang. Sehingga dengan suka ria saya memanjangkan kuku serta sesekali memberinya inai. Cincin yang saat bekerja di Merak jarang saya pakai, di kantor Bekasi ini tidak pernah lepas lagi dari jari. Perjalanan Merak-Jakarta yang saya tempuh menggunakan kendaraan umum menyebabkan saya melecuti perhiasan apa pun yang melekat di badan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

Tetapi berkuku panjang ternyata tidak dipandang menarik oleh si bungsu. Menurut dia, kuku saya yang panjang sering menyebabkan kulitnya tergores saat saya memeluk dan menggosok-gosok badannya menjelang tidur. Tetapi berhubung mamanya sedang centil, protes itu tidak saya hiraukan. Melihat kuku panjang di jemari sendiri rasanya membuat saya cantik setengah mati hehehe.

Rupanya berkuku panjang memang memiliki banyak persyaratan. Akhir-akhir ini nyamuk cukup banyak di rumah. Tanpa sadar, saat tidur saya sering menggaruk kaki dan tangan. Garukan kuku menimbulkan bekas di sana sini, menimbulkan protes suami. Sepertinya saya memang ditakdirkan tidak berkuku panjang. Dan pagi ini dengan sedih saya harus memotongnya (lagi).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut