Rabu, 09 September 2015

TIGA YANG PERTAMA

Suasana panas di Bulaksumur pagi itu tidak menyurutkan langkah semangatku. Pagi itu adalah hari pendaftaran ulang bagi mahasiswa baru di UGM. Aku baru saja sampai dari Jakarta, setelah sebelumnya sempat tersesat saat menuju ke arah kampus. Supir yang membawa kendaraan kami dari Jakarta kurang begitu mengenal jalanan di Yogyakarta. Saat masuk kota, kami bertanya pada seorang tukang becak arah menuju UGM. Si mas becak memberi arah dengan kata ..."Bangjo ngetan, lalu bapak lurus. Mengko ketemu bangjo ngulon. UGM sudah dekat situ pak."

Bangjo? Ngetan? Ngulon? Apa itu?? Mama yang orang Jawa pun hanya tahu bahwa ngetan dan ngulon itu maksudnya adalah arah Wetan alias Timur sedang ngulon itu adalah Kulon alias Barat. Tapi Bangjo ... waduh. Alhasil kami pun tersesat.

Tapi kebingungan pagi tadi sudah terlupakan. Aku sudah mengantre di loket daftar ulang. Suasana sangat ramai. Di depanku, berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi dan kurus dengan tampang culun. Di belakangku berdiri seorang wanita bergaya tomboi. Wanita dibelakangku menyapa dengan bahasa Jawa ngoko. Walau separuh berdarah Jawa, aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh si wanita tadi. Memahami kebingunganku, dia kembali mengulang kata-katanya dengan bahasa Indonesia.

"Ini loket untuk mahasiswa FKH kan? Takutnya saya salah antri."

Aku mengiyakan kata-katanya dan kami berdua mencocokkan berkas yang harus kami serahkan dengan daftar yang kami terima sebelumnya. Lelaki di depanku menoleh ke belakang. Dia tidak berkata-kata hanya sepertinya mendengar dan mecocokkan berkas yang kami sebutkan dengan berkas yang dipegangnya.

Setelah selesai mendaftar, kulihat Wiwin, demikian si wanita itu mengenalkan dirinya, menuju ke arah parkiran motor. Sedang si lelaki tadi entah menuju kemana. Aku menghampiri Mama yang menunggu di dekat tempat penjual minuman, ketika seseorang menyapaku.

"Mbak, tadi daftar ulang FKH ya? Sehabis ini kita kemana ya?"

Kulihat berkas di tanganku, kartu mahasiswa dengan nomor NIM terketik disana. Kulihat NIM si wanita yang menyapaku tadi. Tertera nama Hana dan NIM berbeda beberapa angka di atasku. Berarti, gumamku dalam hati, si Wiwin tadi NIM-nya terpaut satu angka di bawah aku. Sedangkan si lelaki yang belum kuketahui namanya itu memiliki NIM dengan beda 1 angka pula. Dikarenakan sebelumnya si Hana ini antri tidak jauh di depan kami.

Kukatakan pada Hana, bahwa berdasar petunjuk di berkas tersebut, setelah daftar ulang kami harus menuju FKH untuk tes buta warna. Hana mengucapkan terima kasih dan berlalu.

Sesampainya di FKH, aku pun bertemu dengan si lelaki tadi yang baru saja dipanggil masuk ke sebuah ruangan. Wiwin tidak terlihat di sana. Beberapa saat kemudian, namaku pun dipanggil. Seorang wanita menyuruhku untuk menyebutkan warna-warna yang terletak di sebuah kartu. Dia menuliskan beberapa kalimat di kertas dan menyerahkan kertas itu ke aku. Aku dinyatakan bebas buta warna. Mahasiswa FKH diwajibkan untuk bebas buta warna, dikarenakan kemampuan melihat dan mengenali perbedaan warna sangat diperlukan untuk pendiagnosaan penyakit.

Saat aku keluar, aku bertemu dengan Hana lagi. Kami sempat mengobrol beberapa jenak. Ternyata dia berasal dari Palembang. Pantaslah logatnya familiar di telingaku. Beberapa saudara Papa tinggal di Palembang dan beberapa kali pula kami berkunjung kesana.

Kami pun berpisah, aku harus mencari tempat kost hari itu juga. Esok hari Papa dan Mama harus segera kembali ke Jakarta. Setelah melihat beberapa lokasi kost, diputuskan oleh Papa dan Mama bahwa aku kost di dekat kampus Sekip. Hanya berjarak selemparan batu dari kampus.

Saat mengambil jaket almamater di KOPMA UGM, aku bertemu lagi dengan si gadis tomboy, Wiwin. Gayanya yang santai membuat aku merasa nyaman mengobrol dengannya. Rumahnya di daerah Sleman dan dia memutuskan untuk pulang pergi dari rumah ke kampus. Aku tidak bisa membayangkan mengendarai motor, sendirian pula untuk pulang pergi sejauh itu. Aku sendiri jarang naik motor, hampir tidak pernah malah. Orang tua melarang dan menyarankan aku untuk naik kendaraan umum bila mobil kami sedang tidak bisa digunakan. Tak heran, aku tidak bisa membayangkan seperti apa Wiwin yang melaju dengan motornya setiap hari.

Di kemudian hari, dibonceng naik motor sering kulakukan. Bahkan aku belajar mengendarai motor, walau aku tidak pernah bercerita ke kedua orangtuaku bahwa aku belajar dan bisa naik motor. Sayangnya keberanian naik motor sendiri itu jarang kulakukan. Pertama memang tidak memiliki motor dan yang kedua jarang diberi kesempatan oleh teman yang lebih ahli. Saat ini, keberanian naik motor benar-benar hilang. Opsi menggunakan motor di Jakarta tidak pernah terlintas dalam pikiran.

Aku bertemu Hana lagi saat opspek. Kami berada dalam satu kelompok bersama lelaki culun yang kutemui saat daftar ulang itu. Kuketahui namanya Widi, asalnya dari Solo. Hana dan aku sama-sama bengong bila teman-teman dalam 1 kelompok berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Untunglah akhirnya satu dua orang di antara mereka bersedia menerjemahkan apa yang dimaksud dalam obrolan kelompok tersebut.

Aku ingat dipanggil seorang Rakanita...

"Kamu orang Jakarta ya?" tanya beliau sambil memandangku dari atas ke bawah. Aku yang ketakutan tiba-tiba dipanggil oleh dia mengangguk mengiyakan.

"Pantas. Dari tadi kamu memanggil kami-kami ini dengan sebutan kak. Panggilan untuk orang yang lebih tua disini itu mbak dan mas. Bukan Kakak!"

"Iya Kak.. eh maksud saya Mbak," kataku gugup.

Untunglah si Mbak baik hati dan menyuruh aku segera masuk ke kelompok.

Tugas untuk besok adalah membawa caplak jantan dan betina serta tulang untuk dikalungkan di leher. Widi menawarkan untuk mencarikan caplak bagi kami semua. Sedang aku dan Hana bertugas mencari tulang untuk hiasan kalung kami. Malam itu, aku dan Hana naik becak mencari tulang ke daerah Lempuyangan.

Di kemudian hari, Widi selalu menjadi partnerku dalam praktikum berpasangan. Hingga koas pun, kami berada dalam satu kelompok yang sama. Satu hal yang kuingat soal dia adalah, dia selalu menampilkan wajah terganggu bila aku memanggilnya dari jarak jauh ... "Widiiiiiiiii....." Biasanya menjelang kuliah dimulai, dia duduk di depan ruangan kelas bersama beberapa anak lain. Aku yang baru datang, melihat dia dan dari ujung tangga aku selalu berteriak memanggilnya. Semakin terganggu wajahnya, semakin senang aku memanggilnya hahaha... Dia selalu menjadi anggota dewan penasehatku. Menasehati panjang lebar bila yang kulakukan salah dimatanya. Tetapi dia selalu ada, bila aku membutuhkan bantuan dalam pelajaran. Walau dia tidak lupa mencela sebelum memberikan bantuan. Celaan dia tidak pernah masuk ke hati, karena aku tahu walau dia bersungut-sungut mengerjakan yang aku minta, bantuan dia selalu sempurna.

Hana dan aku ternyata memiliki tanggal lahir yang sama. Sehingga aku tidak kesulitan untuk bersahabat dengannya. Saat opspek, kami berkenalan dengan seorang lelaki yang berasal dari Kudus dengan logat Jawa yang sangat kental. Lelaki bernama Ugie ini akhirnya selalu mengikuti kemana pun Hana dan aku pergi. Kami bertiga bersahabat erat. Obrolan kami 'nyambung", kesukaan kami pun hampir mirip. Kami bertiga bersama beberapa orang membentuk semacam kelompok. Kelompok ini rutin menghabiskan waktu untuk menjelajah Yogya dan sekitarnya saat libur tiba. Nilai-nilai Hana dan Ugie lebih bagus dari aku, sehingga mereka lulus duluan dan Koas terlebih dulu pula. Tetapi hal tersebut tidak menghalangi persahabatan kami.

Itulah Hana, Widi dan Wiwin... tiga orang pertama yang kutemui saat mendaftar ulang di FKH UGM. Mereka jugalah tiga sahabat pertamaku saat kuliah. Semoga persahabatan kami tidak terhapus oleh masa.



This one is dedicated to HANA, WIDI dan WIWIN...

1 komentar:

Pengikut