Nina tidak habis pikir, kenapa caplak dijadikan salah satu tugas dalam Opspek kali ini. Memang kami ini mahasiswa Kedokteran Hewan, tetapi caplak tidak seharusnya menjadi penanda identitas, sungutnya dalam hati. Dibacanya lagi daftar tugas untuk esok hari. Kalung tali rafia dengan liontin dari caplak anjing jantan dan betina yang dimasukkan dalam plastik serta tulang sapi; rambut dikuncir 5 dengan pita yang berbeda warna; kaus kaki panjang berwarna merah, topi dari bola plastik yang dibelah dua; surat cinta untuk Raka; ulasan siaran RRI tengah malam nanti; dan masih banyak lagi.
Sudah pukul 7 malam dan belum ada satu pun benda dalam daftar itu dimilikinya. Nina mendesah lagi, harus segera bergerak mencari malam ini, bila esok tidak ingin terkena hukuman Raka.
Hari masih gelap ketika Nina keluar dari kamar kostnya. Adzan Subuh baru berkumandang 20 menit yang lalu. Kampusnya dekat, hanya beberapa meter dari kos. Dia hanya tidur 2 jam malam ini. Nina baru tidur pukul 1 pagi setelah selesai membuat ringkasan berita RRI tengah malam dan surat cinta. Jam 3 dinihari, dia sudah bangun untuk membuat kalung dengan liontin plastik berisi caplak dan tulang sapi. Setelah mandi, dia harus bersusah payah mengikat rambut ikalnya menjadi 5 bagian dengan pita warna warni.
Tulang belikat sapi didapatnya dari seorang teman yang berbaik hati membagi tulangnya yang berlebihan. Tadi malam mereka bertemu di toko kelontong saat bersama-sama membeli bola plastik. Sebagai ganti, dia membuatkan surat cinta untuknya. Caplak didapatnya tanpa sengaja saat melihat seorang teman yang lain mengejar anjing tetangga. Mereka berdua berhasil memojokkan anjing tersebut dan mengambil caplak-caplak di tubuhnya tanpa belas kasihan. Semoga saja tidak ada yang bertanya padanya, mana caplak jantan dan mana yang betina. Sungguh, Nina tidak tahu. Rambut ikalnya yang dipita 5 bergoyang-goyang di antara lubang pada topi bola plastiknya. Yogya pagi itu sangat dingin, kaus kaki panjang merah telah membantu menghangatkan tubuh.
Tak disangka, walau hari masih pagi sudah beberapa orang hadir di halaman depan kampus. Nina segera mempercepat langkahnya. Ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang dan jatuh. Lelaki berkumis itu segera membantunya berdiri. Tanpa kata-kata mereka berdua segera mempercepat langkah menuju barisan yang sudah terbentuk.
Nina lega karena berhasil sampai di barisan tanpa terlambat. Dibenahinya barang-barang bawaan yang terletak di dalam tas karung goni. Diingatnya lagi daftar tugas kemarin. Sepertinya tidak ada yang tertinggal, gumamnya. Dia melonjak kaget saat mendengar bentakan seorang Raka. Tidak digubrisnya bentakan itu. Dia berusaha keras untuk tidak terlihat oleh para Raka yang lain.
Matahari jam tujuh pagi bersinar terang, sudah satu jam lebih mereka berdiri. Apapun yang mereka lakukan selalu salah di mata para Raka. Sudah banyak temannya yang terkena hukuman. Hukuman yang diterima bervariasi, mulai dari menyanyi lagu anak-anak dengan lirik yang diubah, hingga berdiri di pojokan sambil berteriak "Viva Veteriner, FKH Jaya!".
Nina tidak bisa menahan tawa, saat dua orang teman yang berperawakan subur berperan sebagai jam untuk penanda waktu. Teman lelakinya berperan sebagai pemukul gong, sedang sang teman perempuan sebagai gongnya. Disembunyikannya senyum saat seorang Raka menatap tajam. Dia tidak mau hanya karena senyuman, harus mendapat hukuman.
Akhirnya mereka dapat beristirahat sejenak untuk sarapan pagi. Nina menghembuskan nafas lega. Diperhatikan sekelilingnya. Ada lebih dari 90 orang peserta Opspek FKH tahun ini. Merekalah yang akan menjadi teman sekelasnya hingga 4 tahun ke depan. Nina hanya mengenal beberapa di antara mereka, terutama yang pernah ditemui saat mendaftar ulang beberapa hari sebelumnya.
Baru saja Nina membenahi bekas sarapan paginya, ketika seorang Raka maju ke depan dan memerintahkan untuk bertukar kaus kaki dengan lawan jenis. Kaus kaki yang digunakan perempuan berwarna merah sedangkan lelaki berwarna biru. Mereka diberi waktu 5 menit untuk mencari pasangan dan bertukar kaus kaki. Nina segera bertindak cepat, dibuka kaus kaki merahnya dan segera memberikan ke lelaki terdekat yang berada di sebelahnya. Diterima kaus kaki biru dari lelaki tersebut dan segera dikenakannya. Nina dan lelaki itu segera berdiri dan berbaris rapi.
Ternyata jumlah lelaki dan perempuan tidak seimbang. Lebih banyak lelaki daripada perempuan, sehingga mereka yang tidak mendapat pasangan harus rela dihukum memimpin senam pagi itu.
Makan siang akhirnya tiba. Mereka akhirnya diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Nina lelah, sebenarnya dia tidak merasa lapar. Tetapi hari masih panjang. Kegiatan hari ini berlangsung hingga Ashar dan dia harus mengisi perutnya.
"Bu punten, saya tidak bisa makan pedas. Apakah ada makanan yang tidak pedas bu?" didengarnya suara halus dengan logat sunda kental meminta makanan pengganti yang tidak pedas kepada ibu yang membagi makan siang.
Si perempuan Sunda itu menoleh ke arah Nina dan melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak bisa makan pedas. Kemarin aku sudah minta ke panitia Opspek untuk menyediakan makanan yang tidak pedas untukku."
Nina tersenyum. Dia langsung menyukai perempuan itu. Mereka berkenalan, namanya Ira. Gadis Jawa yang sejak lahir tinggal di Bandung. Mereka berdua duduk di dekat Ana, teman yang memberinya tulang sapi tadi malam. Mereka bertiga bercakap mengenalkan diri.
Setelah makan siang, mereka dikumpulkan di sebuah ruangan untuk menerima materi mengenai apa itu Fakultas Kedokteran Hewan. Nina mengantuk setengah mati. Ditahannya rasa kantuk itu. Dia tidak mau menerima hukuman. Sebagai ganti diperhatikan teman-teman di sekelilingnya.
Lelaki berkumis yang tadi pagi dia tabrak duduk tidak jauh darinya. Nina jarang melihat kumis serapi lelaki itu. Teman SMA di Jakarta jarang yang berkumis. Papa dan adik lelakinya berkumis tetapi tidak selebat dan serapi dia.
Nina duduk di bangku tengah, sehingga dia leluasa memandang kesana kemari. Semua orang ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Lima pulau besar ada semua, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Tadi dia sempat mendengar berbagai logat daerah. Logat Jawa dengan berbagai versi. Mulai versi Banyumasan yang kental hingga versi Jawa Timuran yang terdengar lantang. Belum lagi logat minang, melayu dan berbagai macam logat lain yang belum bisa ditebak berasal dari daerah mana. Tidak semua kata-kata yang diucapkan oleh mereka segera dipahaminya. Tetapi bahasa senyuman memang paling ampuh. Mereka senasib saat ini dan Nina yakin mereka semua teman-teman yang baik.
Hari itu berjalan lancar. Besok mereka diharuskan berkumpul di Bulak Sumur, saatnya opspek Universitas. Lusa kembali lagi opspek Fakultas. Nina sudah siap. Harus siap batinnya. Tugas apa pun yang Raka perintahkan harus segera dipenuhi. Betapa pun absurdnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar