ANAK PINGGIR KOTA
- Julia Rosmaya
Saya dilahirkan di kota Jakarta. Tahun 1979 kami pindah ke pinggiran Timur Jakarta. Perumnas Klender, yang merupakan satu-satunya perumnas yang ada di wilayah Jakarta.
Saat itu di belakang rumah masih ada sawah luas membentang. Tetapi saya dan adik-adik dilarang keras main ke persawahan di belakang oleh Mama dan Papa. Bahkan kami sering ditakut-takuti bahwa di sawah itu banyak ular dan buaya putih yang sering memangsa anak kecil.
Kami bertiga kakak beradik dan 4 orang anak tetangga dengan rentang usia antara 5-10 tahun sering naik sepeda hingga ke daerah Pondok Kopi yang saat itu juga masih banyak sawah dan kebun.
Daerah Buaran dan sekitarnya juga masih banyak kebun. Kami sering berpetualang menyusuri daerah Buaran untuk mencari bunga-bunga cantik. Bunga matahari, bunga kembang sepatu dan bunga-bunga liar lainnya. Sayangnya jarang kami menemukan pohon buah dalam petualangan kami itu. Sehingga cerita menarik mengambil buah dari pohonnya tidak pernah kami alami.
Bila musim kemarau tiba, bermain layang-layang menjadi pilihan. Di dekat rumah masih ada lapangan yang digunakan oleh banyak anak untuk turut bermain. Pilihan lainnya adalah bermain kelereng. Tetapi untuk bermain layangan dan kelereng saya jarang ikut serta. Biasanya adik perempuan yang aktif bermain sedang adik laki-laki hanya menemani saja.
Dari kecil, saya sudah terpesona dengan buku. Bahkan saking banyaknya buku yang kami bertiga miliki, membuat banyak teman sekolah datang untuk meminjam atau ikut membaca di rumah. Sempat kami memutuskan untuk membuat perpustakaan mini. Tapi perpustakaan itu hanya berjalan sebentar karena kami malas menunggu dan malas menagih buku yang dipinjam.
Setiap hari minggu pagi, sepeda dikeluarkan dan kami bersepeda hingga jauh. Suatu hari, di persawahan daerah pondok kopi, seorang teman memutuskan untuk menyusuri pematang sawah bukannya jalan biasa. Dengan sepeda tentu saja. Karena tidak bisa menjaga keseimbangan, adik perempuan jatuh ke sawah, lebih tepatnya lagi jatuh ke tumpukan teletong kerbau di pinggir sawah. Sesampai di rumah, habis saya dimarahi mama karena dianggap tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan adik berlepotan teletong kerbau.
Acara naik sepeda semakin menggila saat bulan puasa. Selepas subuh kami selalu keluar rumah dan kembali ke rumah sekitar jam 9 pagi. Saat itu bila bulan puasa, sekolah selalu libur sebulan penuh. Setelah sampai rumah, kami tidur hingga menjelang ashar, sungguh tidak patut dicontoh hahaha...
Semakin kami besar, kegiatan bersepeda semakin jarang. Saya lebih suka diam di kamar membaca buku dan melamun memandang keluar dari jendela. Kegiatan bermain bersama juga semakin berkurang seiring dengan bertambahnya umur.
Sawah di belakang rumah masih ada hingga tahun 90an awal. Bayangkan sawah di kota Jakarta. Daerah Perumnas Klender dan sekitarnya makin ramai. Saat itu kemacetan mulai terjadi di jam pergi dan pulang kantor. Tetapi belum separah sekarang. Jalan tol dalam kota sudah selesai dibangun. Saya dan seorang teman sering iseng masuk tol dari pintu tol Rawamangun lalu keluar tol kembali di Rawamangun. Terkadang hingga dua putaran, tergantung mood dan bensin hahaha... Hanya butuh kurang dari sejam di luar jam pulang pergi kantor.
Saya tidak merasa bahwa tempat kami pinggiran saat kantor walikota Jakarta Timur pindah ke daerah Cakung yang bahkan lebih pinggir lagi dari Perumnas Klender. Saat itu Cakung rasanya sudah jauh sekali dari pusat Kota. Daerah Bekasi apalagi, rasanya sudah luar kota sekali. Tidak terbayang bahwa sekarang antara Jakarta dan Bekasi tidak berjarak lagi. Walau cara paling mudah untuk menentukan apakah kita sudah masuk Bekasi atau belum adalah dari kualitas aspal. Bila aspal sudah berlubang sana sini tak terawat maka artinya sudah masuk wilayah Bekasi. Coba susuri Jalan I Gusti Ngurah Rai sepanjang rel ... terlihat bedanya mana wilayah Jakarta dan mana wilayah Bekasi.
Perkembangan kota Jakarta semakin pesat, semoga kita tidak tersesat di dalamnya.
#OneDayOnePost
#FebruariMembara
#hari_kesepuluh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar